BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Wednesday, August 5, 2009

Tarian Pena

Acuan hatiku, goresan yang kau buat dalam kertas mewangi itu membuat aku terharu, melalui tarian pena-mu kau buat aku bahagia. Berpucuk-pucuk telah aku terima dengan penuh warna kehidupan di dalamnya. Bintangku, aduan hati yang kau paparkan membuat aku tak berdaya, serasa nyata kau ada di depan roh ku, larik demi larik kata serasa terucap langsung oleh mungil bibirmu. Lebahku, saat kupahami arti dari buah tanganmu, sepertinya kau menyaksikan aku tertawa, tersenyum, tertegun, terdiam, tertidur, melamun, bahkan menangis. Bungaku, separuh jiwa yang kau punya kini ada dalam genggamanku, takkan pernah aku hempas, bahkan takkan pernah aku musnahkan, semuanya akan aku simpan sebagai suatu lembar sejarah yang tidak terlupa dalam perjalanan waktuku suatu saat nanti. Permataku, senda gurau, canda tawa, bahkan kepedihan yang kau lukis disana membuat suatu pengalaman baru di lembar hidupku, Bukan suatu kepedihan yang kurasa, tapi mungkin suatu perjalanan hati yang bertabur bunga di setiap sisi yang kulewati. Kekasihku, entah apa yang harus aku perbuat saat ini, apa yang harus kuperbuat untuk menetapkan bahwa hati, rindu, dan senyummu, hanya untukku.

Kewajaran Berbatas
Perjalanan-perjalanan hidup di masa lalu telah kulampaui dengan penuh rasa kewajaran, semua yang pernah aku lakukan serasa tiada melanggar suatu norma, kunikmati itu, kulalui tanpa memuat suatu kenangan kebahagiaan yang membekas. Yang ada hanya kepedihan dan kekalutan menggores di cadas bebatuan sukma. Adalah suatu waktu ketika serangkai bunga menancapkan hidupnya di atas cadas hati ini, akar-akarnya mampu menembus urat keangkuhan dan mengikis bebatuan itu sampai hancur menjadi puing-puing dan debu. Bunga itu telah membuat mata hatiku terbelalak, memaksa jiwaku untuk menarik mundur ingatan menuju sejarah lalu, dan aku mulai mengakui kesalahan yang telah aku anggap sebagai kewajaran, sungguh aku terlalu terlena dengan apa yang disebut wajar. Bungaku… aku seharusnya berterima kasih padamu, mungkin bila kau tak tumbuh di jiwaku, aku takkan pernah mengetahui bahwa kewajaran itu bila terus kulakukan akan membuat kehancuran diriku, bahkan hancurnya melebihi apa yang telah kau perbuat pada cadas bebatuan sukmaku, kini aku ingin kau terus hidup dan hadir di jiwaku. Menuntunku ke arah suatu kepastian yang takkan terlupakan.

Senyum Secercah bayang
Pernah suatu ketika aku berdiri mematung menunggu curahan air dari langit mereda. Tubuhku menggigil terkena percikan-percikan halusnya. Satu persatu ia luruh mengisi rendahan tanah didepan ibu jari kakiku, lama kelamaan rendahan itu ciptakan sebuah cermin yang menarik wajahku untuk berkaca pada pantulan air itu. Kulihat sebentuk wajah yang tak asing di mataku, aku mengamatinya dan membisu, tapi bayangan didalamnya malah tersenyum padaku. Lalu aku membuka tanya pada bayang itu “wahai sebentuk wujud…apa yang membuatmu tersenyum padaku ?”, tak kusangka ia menjawab dengan membisik dihatiku, “Aku tersenyum bahagia karena kamu…wujudku yang sebenarnya !”. “apa gerangan kebahagiaan yang kuperoleh ?”, dan ia tertawa “sadarlah jelmaan jiwaku… engkau kini tengah berbahagia karena kehadiran penyejuk jiwamu, pencurah asamu, pengisi lembar baru hidupmu, bahkan pembimbing bagi lelah jiwamu !”. aku terdiam sejenak, berpikir,….., sejurus kemudian aku ikut tersenyum, kini aku mengerti siapa yang dimaksud oleh mahluk dibalik cermin itu, dan kamu pun pasti mengerti siapa yang ia maksudkan.

Aku mulai melangkah menembus mendung, tak hiraukan sekelilingku karena kebahagiaan yang telah kugapai, meronta di jiwaku, pergi bersama langkah tergesa, menuju tempat dimana aku bisa curahkan kebahagiaan itu. Tunggu kehadiran diriku pelangiku…., sambut kedatanganku dengan rasa sayang yang memenuhi setiap inci ragamu.

0 comments: