BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Wednesday, August 5, 2009

Tetap harus denganmu

Larik nada menurun lambatkan tempo birama keadaan, kulihat sekeliling ada kebijakan yang terduduk diam, hanya mata-mata pendusta ikut serta dalam keramaian nurani. Dentingan dawai kian meninggi dengan lantunan sumbang layu berdendang, puncak keharuan sapa setitik kedipan mata, sayup luruh bersama getaran hati. Pohon-pohon Pinus berebut tindih dengan cemara sebarkan wewangian khasnya, kujumpai lagi jatuhan buah keringnya tepat disisi. Dan tiadalah yang mampu selain Maha Perkasa yang ciptakan segala sesuatunya, begitu juga perasaan yang aku punya, karunia yang lazim didapat setiap hati dan tentu akan jatuh berbeda dari hentakan tamparannya.
Jangan pernah diam bila satu tanya terucap, jangan henti bicara dengan curahan kasih sebelum kuminta untuk berhenti sejenak, karena lelah jiwa pasti akan menghinggapi lagi di dirimu, kamu pun pasti bersua dengan kejenuhan dan aku minta buanglah jauh kejenuhan yang mengetuk pintu hatimu, biarkan aku tetap bercerita, berlantun, bersyair, tertawa, bahkan menangis saat aku tepat dihadapmu. Aku tetap mencoba membuka diri untuk kau pahami, kamu sedikitnya mengetahui tentang apa yang sebenarnya terjadi,
terutama dengan rasa sayang serta cintaku yang aku cipta dan karyakan hanya untuk hati, diri, dan jiwamu, Aku harus bersamamu. Masa cita yang kupegang membutuhkan peran penting dari seorang yang bijak, taat, dan setia pada kasih sayangku. Aku percaya, aku melihat dengan mata kepala sendiri, aku merasakan dengan mata hati yang terbuka lebar. Selalu yakinkan aku untuk memberikannya hanya padamu, jangan lagi ada kepalsuan dengan dalih menikmati yang ada, aku takkan bisa berpindah ke perantauan hati yang lain. Semoga kau mengerti dan mau memandangku sebagai satu bukti kepercayaan dan kesungguhan.

Hakikat Kekuatanmu

Aku menyandarkan diri dipagar rembulan,
Bercakap tentang arti sebuah kekuatan. Nun jauh disana di Danau jiwa kureguk air kekuatan itu.
Bukan sebuah tinggi nada suara atau kekekaran jasad menghalangi, tetapi kesabaran jiwa untuk diam dan berlaku merupakan jawaban dari kekuatan.
Semasa kelemahan yang lebih nyata dikelopak mata mungkin hanya senda gurau untuk menutupi kelemahan.
Tubuh lemahku tiada sekuat jiwaku, dan ketabahan adalah salah satu sahabat karibnya.
Seperti juga dirimu dihadapanku, terkadang kau begitu kuat memandangi kenyataan, tidak seperti aku yang selalu bersembunyi dalam dekapan hangatmu.
Terkadang aku terlalu malu untuk menghadapi apa yang ada didepan mata, dan kaupun mengusirnya dengan penuh ketegaran.
Sudilah kiranya bila kau berkenan menjadi pelindungku, karena kau mempunyai kekuatan jiwa yang sungguh-sungguh tinggi, meski dibarengi dengan sempitnya langkah kakimu, kau tetap perlihatkan ketabahan itu.
Aku telah belajar banyak darimu, kamu adalah yang terbaik untukku.

Seharusnya dirembulan ini aku tak bersandar. Kenapa tidak aku mencoba untuk memikulnya dipundak lelahku.
Sedangkan kamu sendiri mampu menaklukkan bintang, dan sekarang bintang itu tengah bersinar dan bersemayam dalam matamu. Aku terpesona, aku terpana, karena aku cinta, karena aku sayang, terhadap segala apa yang ada dalam diri dan hatimu, seluruhnya, semuanya, seutuhnya. Dan aku takkan menghancurkan apapun yang aku sayang dan aku suka.

Kau Selalu Ada disini

Aku menari diatas bulan, nikmati atmosfer kasih yang tersimpan didada.
Melayang tanpa melangkah aku berpindah, hentakkan kaki tuk menjulang di Angkasa.Tahukah kamu kenapa aku sampai disini ?,
Tidak lain karena kereta kencana yang kau buat yang ditarik oleh kuda terbaik pilihanmu.Kini aku bisa berteriak dalam kehampaan, karena aku berbahagia menyadari tentang selalu adanya dirimu dimataku, takkan terpisah jauhnya jarak kembali. Menginjak-injak muka penerang malam meskipun bintang-bintang sangat jauh untuk kuraih.
Disini kutemukan kebahagiaan,
Disini kuketahui arti sebuah kesunyian,
Disini pula aku mulai menikmati sebuah luka yang akan kembali membuka.
Disini aku bisa bulatkan kata untuk ucap seutas janji.
Atmosfer jiwaku... kau membuat aku hidup dengan ketebalanmu, seringkali aku menyadari tentang kebesaran kasihmu tuk reinkarnasikan ketulusan sukma. Meskipun pernah terulang tapi aku yakinkan kamu yang terakhir yang mendapat curahan terbesarnya.
Gravitasi hatiku... kau menarik aku untuk terkapar dibelahan pangkuanmu,
kau sejukkan tenggorokan dan wajahku dengan tetesan air mata haru yang luruh melewati pipimu. Kau sebarkan benih kasih yang tidak terkesan paksaan.
Gelombang sukma yang menjulur hangatkan aku saat dipelukmu, maukah kau untuk tidak memberikannya lagi pada yang lain, karena orang lain tidak akan pernah punya rasa seperti yang tengah aku beri kepadamu.
Jasadmu bukan lagi sebagai patokan, tetapi ketulusan hatimu yang kurasa lewat kecupan indah itu memberikan suatu bukti yang tidak pernah hilang. Berikanlah semua untukku, karena aku tak pernah ragu tuk berikannya pula hanya untukmu.

Kamu yang takkan terganti

Ada satu masa dimana kuyakin akan benar terjadi, dimana kejayaan hati akan mendominasi julangan tinggi melewati batas pandang khayal.
Bukan berarti bermegah-megah diatas kemunafikan, tetapi kemunafikan itulah yang akan runtuhkan kemilau megahnya.
Aku bukannya orang yang mengkaramkan hati, aku bukanlah orang yang kejam. Tetapi setiap keputusan yang kuraih selalu diartikan tiada jauh dari ketegaan dan kekejaman. Apakah ini merupakan suatu tirani langkah pembuka ?. Sedangkan yang aku tahu untuk melewati dan mendapatkan satu keinginan mudah pun layaknya menelan setumpuk bara sekam yang tiada terjangkau pandangan dan perkiraan.
Pohon-pohon kini mulai meranggas untuk bersemi kembali, begitu dan begitu saja berotasi untuk kurun waktu tertentu. Namun aku tidak seperti itu, bayang-bayang kekaguman yang kuterima bersalahkan arti dari pribadiku sebenarnya. Biarlah tetesan embun beku tetap menghujat, biarlah panas penguasa terang selalu menggugat, biarlah sisi religi tetap payungi aku dari lindasan kebingungan. Aku akan tetap menuntut dan meraih apa yang didamba.
Hanya mungkin pada siapa ?.
Tentunya pada seseorang yang mau menadahi cucuran kasih yang telah ditempa, aku tiada berkelit untuk mencobanya.
Demi keyakinan pada diriku, aku akan tetap mencintai dan menjalani apa yang tengah kujelang. Rindu itu selalu menggebu dan ciptakan berjuta khayal demi melihat terkasih tersenyum. Aku akan tetap pada niatku, hanya kamu yang mampu untuk meraihnya. Aku dan cintaku tiada terpisah.

Pahami lantunanku

Datanglah jiwa sang penyair... tuntunlah aku untuk curahkan gundah hati yang menyiksa. Sambutlah deraian air mataku dengan rangkaian kata indah yang selalu kau cipta. Buatlah aku seperti dirimu, buatlah aku memahirkan segumpal asa yang tak terpecahkan, bekalku dalam rasa huruku tiada terlukis dengan pancaran roman muka semata, karena aku selalu sembunyikan rasa itu dalam hati, sehingga setiap orang takkan pernah mau mengerti tentang kepedihan jiwaku.
Mungkin saat ini hanya selimut tebal yang mau memelukku, hanya sebatang rokok yang berkenan mengecup bibirku, hanya bergulung asap yang memenuhi udara nafasku, hanya hembus dedaunan yang mengelus rambutku, hanya serangga malam yang sudi dendangkan cinta ditelingaku. Dan mungkin tiada yang mau dekati pendosa seperti aku, dimana setiap langkah yang kupacu hanya menambah kecurigaan manusia beriman, dan setiap kali aku mengayun cinta tiada pernah bersambut dengan pandangan simpati.
Aku hanya menjalani apa yang kulakukan, tanpa ada sedetikpun dihati untuk hancurkan kisah insan, apalagi untuk puan tercinta.
Penyairku yang terhormat... bila kau tak mau menuntunku, biarlah wajahmu kujadikan sebagai ladang curahan jiwa,

biarlah jiwamu kujadikan ucapan jerit bibirku yang senantiasa berontak ketika aku berbahagia, sesal, dan haru. Saat ini kebahagiaan itu tengah menyapa meski diiringi oleh tatap kecurigaan dimana aku menjadi orang terkucil.
Tahukah kau siapa penyair terbaikku ?
Tak lain lagi adalah dirimu, aku terkagum akan pesona diri dan jiwamu. Jangan kau mengelak, karena aku pun tahu kau tercipta hanya untuk menaklukkan hatiku.

Inspirasiku Takkan Punah

Kuucap sebuah syair milikku ketika aku berjalan tepat dibawah Cannis Minor dibelahan langit bulan Maret. Cahaya redup terang dari berbagai bentuk gugusannya limpahkan imajiku untuk menusuk mataku dengan ketajaman terawang. Tak kudengar rintihan rumput hijau kala kuinjak dan kuhempas, tetapi desahannya membalas dengan kibaskan embunan kabut dikakiku sebagai tempat bersinggahnya debu dan tanah.
Aku mulai berlagu memantapkan lirik dengan nada, rentangan masa yang bergulir tak sanggup ciptakan harmoni yang menyentuh jiwa. Tercipta hanya sebagai suara sumbang seperti air mata dan isakan tangis.
Lelahnya dan terus mencoba tetapi tiada seindah kuingin. Kubantingkan ragaku untuk dipeluk ujung dedaunan, rasakan kelembaban disekujur tubuh. Aku tak bisa kembali mencipta, kenapa rasa yang menyesak ini tiada bisa kucurah, sedangkan hanya ini yang bisa membuat orang mengerti. Mungkin aku harus belajar diam, membungkam mulut hati, membelenggu tangan-tangan inspirasi. Tapi aku takkan mampu lakukannya , sebagian dari pribadi, sifat, dan jiwaku memang harus seperti ini.

Akulah penulis kisah sembarangan, Akulah pelantun sastra gila, Akulah pengucap rayuan gombal,
dan Aku pulalah yang selalu ingin dicinta, disayang, dipuja oleh satu terkasih yang hanya satu. Aku tidak bisa begitu saja menyerah, hanya penjiwa besar yang mau dan mampu pahaminya, dan kamu adalah salah satunya.

Hati yang Meredam

Ada perasaan perih saat sembilu mengiris jemari sukmaku, darah yang diteteskannya seakan tidak mau berhenti untuk luruh, jatuh mewarnai merahnya mataku. Sekeping lingkaran emas bertatahkan berlian mencolok anganku di jemari manismu, aku tahu itu merupakan pertanda lembayung hati mulai turun dan musnahkan sinaran jiwa dengan kabut tebal disekelilingnya. Aku tak menyangka semudah itu lembaran citamu berakhir, tak menyangka lembaran kisahku pun harus dicoret dengan tinta merah pertanda ketulusan dan kebenaran berdiri tegak. Bibirmu yang terbalut norma keanggunan telah berubah jadi setajam pedang, hati kembutmu telah membatu, mungkin hanya karena bakti terhadap kedua terkasih, kau musnahkan berjuta tulisan kisah yang masih mewarnai rindumu. Aku tahu kau tak ingin, dan kau tahu aku tiada terima, tapi harus bagaimana lagi ?, sentuhan terakhir jemarimu menyapa luruh wajahku, tak selembut ketika kau hempaskan setangkai mawar yang kusematkan di gaunmu. Senyumanmu coba tegarkan hati ini, aku balas dengan kebesaran hati, walaupun dentuman halilintar tepat berada diatasku memekakan telinga bathin. Dan selama tiga purnama aku masih rasakan lembut tanganmu, binar matamu, hangat sapamu,
erat dekapan terakhir itu yang segera kulepas tatkala menyadari bahwa kemenangan belum ada di pihakku. Aku ‘kan pergi dengan kepingan hati, tundukkan jiwa, menepiskan harap yang mungkin tiada terwujud, entah sampai kapan, mungkin saat ini, tahun nanti, abad nanti, atau tidak untuk selamanya.

Terima kasih, Selamat tinggal Pelangi.............

Kepiluan yang kucumbu tadi sore hinggap kembali di pelupuk mata, tatkala ia merintih dan menangis aku hanya terdiam, tak kuasa untuk putuskan sesuatu. Semuanya telah terlanjur terjadi, aku yang memiliki jasadmu bukan hatimu. Isakan tangis itu hanyalah isapan jempol bagimu. Aku tahu kau tak sesuci yang kau kira. Saat kau putuskan tali rahasia antara kita, aku mulai mengerti tentang diri dan jiwamu. Aku semestinya tak mengharap terlalu banyak, sebab hatiku tak pernah dimiliki olehmu. Kau rayu, kau bujuk, kau ancam aku dengan lemah gemulai tubuh indahmu. Terlintas sedikit saja untuk tergoda, tapi kau vonis itu sebagai suatu perangkap. Aku tak tahu harus berbuat apa ketika keindahan mutiaramu hadir didepan mata. Kau menghisap darah panasku dikepala, membuat aku ingin memuntahkan apa yang menyesak dalam dada. Setan dalam darah dan jiwaku mulai meronta, aku tak kuasa lagi untuk menolak. Kupalingkan wajah dan hatiku karena ini bukan merupakan suatu bukti, dan kau tetap memaksa aku, aku tak mengerti, tapi aku tahu apa yang kau ingin. Tetapi satu sandaran manja pun sudah cukup bagiku untuk buktikannya tiada lebih.
Aku merintih dan meringis tatkala jemari jiwamu merobek angan hitamku, terpaku, tiada berkutik. Segala keinginanmu saat itu tiada terlaksana, beratus kata maaf yang kuucap tiada berkenan dihatimu dan kau mulai menangis, aku berdiri dan sibakkan tirai jendela, kulihat pelangi di ujung cakrawala, ingin kuabadikan keindahan itu dan bergegas pergi tinggalkan dirimu dengan segala kepolosan.
Aku memang bodoh... kejadian itu takkan terulang lagi dan aku menyia-nyiakannya. Tapi tak mengapa karena ia terlalu berlebihan mengartikan apa inginku. Sayup senja mulai mengusir cerita itu, aku berdiri di bibir pesisir dan mulai mengabadikan semburat cahaya pelangi disana dengan dirimu ikut serta terpaku dibawah pelangi yang berbaur air mata dan senyum bibir tipismu. Kau memang menarik, kau sanggup menawan hati menikam jantung, dan aku terjerumus, sedang kau tidak pernah tahu bahwa aku merasa sebagai seseorang yang dikorbankan setelah aku tahu cinta, jiwa, dan tubuhmu pernah kau berikan untuk yang lain sebelum diriku, sebelum sempat aku menjadi lampiasan cerita yang pernah kau buat. Dan pastinya kau akan meminta tanggung jawabku terhadap apa yang tiada pernah kulakukan.



Pergilah... meski perih yang dirasa, tapi untuk yang terbaik, aku akan merelakannya. Selamat tinggal.

Gundah

Sendiri aku dalam pelukan alam,
nikmati deburan ombak memecah karang,
sadarkan diriku kecil tak berarti.
Renungi semua caci maki yang terucap.
Renungi yang telah kulakukan
bersamanya kala sunset mulai terbenam.
Meskipun diamku menjadi jawabnya,
dari semula aku telah merasakannya,
semua itu memang ia inginkan.
Kulepas semua pikiran itu,
kubakar bersama sebatang rokok,
kulupakan bersama bergelas arak.
Sekeping rindu mulai menggangu,
membelenggu seuntai kata hati untuk ungkapkannya padamu nanti saat aku kembali.
Apakah mungkin itu akan terwujud ?.
di pasir putih kurebahkan tubuhku dan tak terasa aku mulai menangis,
menangisi sesuatu yang tak pasti kala kusadari hatiku mulai terbagi.
Yang kujalani bersamanya saat ini hanya untuk memuaskan sebuah hasrat belaka,
dan ia cemburu.

Harap dan Harap

Gejolak hati yang rindukan satu cita
Terwujudlah sudah dalam hidupku
Untuk meraih asa tertunda
Dalam waktu yang terlewati
Pijaran kasih sayangmu
Telah kumiliki kembali
Sinari langkahku lagi
Demi mencapai satu kenyataan
Di tengah haru menyapa
Kugenggam satu cinta
Terbenam dalam jiwa hampa
Hapuskan letih anganku
Hantaman dingin angin malam
Jatuhkan anganku saat melayang
Tersentak jiwa saat kusadari kini
Semua yang terjadi hanya mimpi semu

Menjelang Satu Purnama

Belum genap itu terjadi, hatiku sudah terpaut sepenuhnya. Entah kenapa yang terjadi, entah bisikan apa yang kudengar dan kurasa, tetapi aku yakin akan apa yang kuketahui.
Ada rasa haru ketika aku mulai menjalinnya, semula aku terlalu menganggap ada imbalan langsung, tetapi kuketahui bahwa aku terlalu percaya diri. Sekarang aku tak perlu meresahkan hal itu lagi, aku tahu cintanya pasti untukku. Aku ingin yang aku jalani tiada pernah berakhir, kebahagiaan seperti ini tak akan mungkin aku raih kembali bersama yang lain.

Dari Amelia Untuk Ibunda

Ibunda sayang, saat ini Lia kangen sekali sama Ibunda, Lia ngerasa sangat sedih sekali dan terkadang kalau malam tiba terus ngerasa kangen, Lia suka menangis. Kapan ya Bunda... kita dapat bersama-sama lagi, Lia rindu dengan pelukan Bunda, Lia kangen omelan Bunda, Lia merasa sendiri disini. Tak ada kasih sayang yang dirasa oleh Lia lebih dari kasih sayang Bunda.
Ibunda, Lia sebenarnya ingin sekali ikut dengan Bunda, tetapi Lia harus meraih cita-cita Lia disini, Lia tak ingin Bunda merasa kecewa untuk kesekian kalinya. Lia tidak bermaksud meninggalkan Bunda, seperti ayah yang meninggalkan Bunda untuk tugas, maka Lia meninggalkan Bunda untuk meraih cita-cita dan masa depan Lia. Lia ingin menjadi anak yang berguna bagi Ayah dan Bunda, dan Lia merasakan bahwa kehidupan Lia memang disini, di kota kembang.
Ibunda tercinta, sudah dua kali Iedul Fitri.... Lia tak berjumpa dengan Bunda, Lia merasa sangat sedih. Bukannya Lia tak mau berjumpa. Tetapi Lia belum punya waktu untuk menyusul Bunda.

Maafkan Lia Bunda... Lia tidak pernah melupakan kasih sayang Bunda, dan Lia yakin Bunda tidak akan pernah melupakan Lia, anak sulung Bunda yang kadang tidak selalu menuruti perintah Bunda.
Ibunda sayang... di sini Lia tidak sendiri, Lia dibimbing oleh seseorang yang sangat menyayangi Lia, orangnya baik, selalu menjaga Lia, melindungi, bahkan selalu membantu Lia bila mendapat kesusahan. Bunda sayang... jangan khawatirkan Lia, kedewasaan itu dituntut pada saat seperti ini.
Ibunda,... Surat dari Ibunda telah Lia terima tiga hari yang lalu, Lia selalu saja menangis ketika membaca surat dari Bunda, apalagi ketika mendengar ‘Ade sakit, Lia khawatir terjadi sesuatu pada ‘Ade. Mudah-mudahan saja ‘Ade mulai membaik.
Ibunda... Lia tahu kalau Bunda merasa sepi, terkadang Lia juga merindukan keriangan itu, ketika papa belum pindah tugas, dan kita selalu menghadapi cobaan hidup bersama-sama. Tunggulah tiga tahun lagi Bunda... Lia berusaha untuk secepatnya menyelesaikan Kuliah, dua tahun lagi tugasnya Ayah pun telah beres lalu kita bisa berkumpul bersama-sama lagi.


Ibunda, maafkan Lia... Lia akan selalu baik-baik disini, Lia bisa menjaga diri sendiri. Lia kangen Bunda, Lia rindu Bunda, Lia sayang Bunda, Peluk cium untuk Ibunda. Lia selalu mendoakan Bunda.

Dari seseorang yang Bodoh

Ada yang sering tidak tersirat dalam nurani, tentang kebebasan yang dijalani. Semula mata dan telinga tertutup, dituntun oleh suatu kekuatan otoriter, seakan bagai kerbau yang ditusuk hidungnya. Selama lebih dari puluhan putaran waktu, tak bebas untuk berteriak, layaknya berdiri di depan tiang eksekusi. Kejenuhan mulai bicara, bangkitkan semangat tuk hancurkan penindasan, kebobrokan yang tengah sembunyi mulai terkuak, laksana seonggok bangkai terbungkus kain sutera, indah rupa tapi menusuk aroma busuknya. Kekuatan kini terhimpun, memusnahkan rezim pendusta. Kebebasan hadir menyerta tapi tiada bermakna, memporak –porandakan nilai-nilai kesamaan hati, sikap, dan jiwa. Melenceng dari arti sebenarnya. Sampai kini terombang-ambing menuju pintu kekaraman bahtera. Namun satu yang tiada tersentuh, yaitu birokrasi yang meracuni tiap jiwa. Menjulang tinggi dalam hati seorang kapitalis, rasialis, idealis, dan anarkis. Kita masih buta, kita masih tuli, kita masih terbelenggu.
dan apakah kita sudah Merdeka ?!.

Persinggahan Hati

Bergetar jiwaku bila ingatanku berbentur pada wajahmu, dan bibirku terkatup, terbata-bata ketika ucapkan namamu, tapi aku masih sanggup untuk menanyakan satu hal pada dirimu, tentang kesediaanmu menjadi persinggahan hatiku, bukan hanya tempat bersinggah, tetapi hatiku kan menetap didalamnya. Biarpun tempatku di atas emperan hatimu, biarpun berdesakkan diantara orang-orang yang kau cintai, walau kedatangan hatiku tidak disambut dengan hamparan permadani berwarna merah, walau datangnya tidak disambut dengan peluk cium dan tangan terbuka..., aku tetap rela. Asal kau sudi mengakuinya, bahwa hatiku ada di dalam hatimu, yang akan selalu kau bawa kemanapun kakimu melangkah.

Di 16022001

Aku mulai resah, menanti hadirmu disini. Tiada lelah yang menyerta, hanya bimbang gelisah membisik kalbu penantian. Aku membawa rindu dan cinta yang kau pesan, hingga aku menunggu jauh berbataskan langit. Sebentuk karya seorang penyair tergeletak disampingku, kuraih dan kupahami, lembar demi lembar, kata demi kata, tiada terlewati oleh mata kalutku. Dan waktu seakan tak memahami, sekian lama terdiam telah beratus lembar yang kubaca. Tetapi penampakan dirimu tiada terlaksana. Entah apa yang terjadi padamu, namun rinduku takkan sirna oleh sinar hangat mentari pagi yang mulai meninggi. Entah berapa juta kali kedipan dua mataku terulang, tapi penantianku disini tak ingin menjadi sia-sia. Sesaat setelah aku terlena, kudapati dirimu disampingku, dengan mata berbinar, dan segores senyum rindu yang semakin indah, dari waktu ke waktu.

Untuk Adinda

Dinda... kamu tetap seindah dulu, bahkan lebih. Ketika kesempurnaan yang tiada kuraih, ketika kebahagiaan urung menghinggapi jiwa, kau tetap ada, memberiku suatu asa yang kian lama kian kupahami, bahwa hatimu sepenuhnya kau curahkan untukku, bahwa sebagian dari bahasa yang kau ucap mampu membacok anganku untuk membuka mata hati akan kenyataan. Kau ajari aku tentang kepahitan dunia, kegetiran hakiki kejujuran, bahkan keabadian alam yang akan dihadapi nanti. Kau menegaskanku pada suatu kekuatan dahsyat Yang Maha Suci.
Adindaku... dengan sayap mungilmu kau hiasi mataku, berkelap kelip cahaya kebesaran jiwamu. Terbang memutar di angkasa sukma, tebarkan wewangian khas sanjung alami-mu. Kau balut segores luka menganga, kau robohkan keheningan hati yang senantiasa memagut ketika pikiranku hampa.

Awal Perjumpaan

Terpaku diriku pada sebuah kursi dari kayu, berpangku tangan sambil menyaksikan deraian air yang menetes basahi bumi tempat aku berpijak. Menunggu aku setelah menegarkan langkah untuk jumpa dirimu, telah aku penuhi janji yang tak pernah tersusun. Apakah dirimu mengetahui kehadiranku disini ?, karena sedari tadi tak kulihat dirimu melangkah susuri jalan itu. Kapankah rasaku menjadi nyata ?, sedangkan waktu terasa bergulir sangat lambat tidak seperti biasanya. Tersirat suatu bimbang dihati, mungkinkah kamu akan menghindariku, setelah mengetahui wujudku yang sebenarnya. Karena hanya suara yang selama ini pertemukan kita, hanya khayalan kasih yang menjadikan dorongan imaji untuk diriku yang telah lama tak temukan rindu seperti yang tengah kurasa. Bilakah kita bersua akan menjadikan mimpi buruk tidurmu ?, tidak… tidak mungkin itu terjadi, keagungan hatimu takkan berlaku sepicik itu. Tapi rasa ragu dan bimbang ini mengalahkan segalanya. Hingga saatnya pun tiba. Kau berdiri di depanku, tampakkan sebersit senyuman rindu namun malu. Tak kuasa kutatap beningnya mata indahmu.
Dengan jari lentikmu kau kibaskan percikan air yang bergulir di rambutmu. Kucoba membuka suasana, dengan sapaan lembut laksana seorang anak yang merindukan pelukan hangat sang ibunda.
Tapi yang kutahu kau hanya membisu, seakan tidak menginginkan kehadiranku disini, tapi saat itu tak aku pedulikan. Aku hanya mendengar suara hatiku yang menyatakan bahwa dirimu ternyata lebih indah dari yang kubayangkan, aku sangat terpesona. Tetapi dari tatapanmu mengisyaratkan hatimu tidak seperti yang seharusnya kuraih, dengan sedikit kata kau bergegas lalu melangkah pergi setelah berikan sepucuk surat untukku. Aku tetap terdiam dan membeku, menyaksikan dirimu yang tinggalkan aku lalu hilang di persimpangan dengan berlari kecil menghindari hujan yang seakan tidak akan mereda. Mungkin benar dugaanku, adanya diriku ditempat ini membuat sebuah bayangan diriku di benakmu telah sirna, menyadari diriku tak seperti yang kau impikan. Tapi tak mengapa…… sekali di jumpa pertama takkan mengisyaratkan kejadian nanti, meski hatiku sedikit kecewa, tapi aku masih punya harapan di jumpa kedua dan selanjutnya. Kegundahan mulai bersarang di jiwaku, apakah ini jumpa pertama untuk yang terakhir,
atau merupakan awal dari sebuah kisah penciptaan sebentuk kasih sayang yang menjanjikan suatu kedamaian bagi hati nurani seorang mahluk yang tengah membisu dihantam lebatnya hujan tengah hari ?.
gemeretak tulangku, parau suaraku, menyesak nafasku, dengan sendu aku melangkah menjauhi tempat yang menjadi saksi pertemuan itu, yang menjadi saksi kekalutan otakku, yang menjadi saksi tatkala aku melangkah pergi dengan sebuah harapan yang entah kapan akan terwujud.

Daratan dan Samudera

Di tengah lautan yang sepi aku terdiam dalam sebuah sampan, sesekali kudayung tak tentu arah. Aku biarkan malam pekat menelan tubuhku, kubiarkan ombak menuntunku menjauhi pesisir. Tak kudengar gelegar ombak yang memecah dada, pertanda aku telah jauh berlayar. Meninggalkan hiruk-pikuk manusia yang sibuk dengan urusannya. Aku menyangka ditengah lautan ini menjanjikan suatu ketenangan dan keindahan, tetapi setelah aku berada di atasnya aku merasakan ketenangan yang hampa, sepi tak menggigit. Bahkan kesepian itu seakan-akan menikam jantungku, aku tak ingin terbunuh oleh kesunyian yang tercipta. Lalu mataku memandang ke arah bibir pesisir, kulihat keramaian disana. Ah… alangkah bodohnya aku, aku terlalu menganggap sebuah kesunyian mampu mengobati kejenuhan, dan aku mulai mendekati pantai untuk berbaur dengan hingar-bingar itu, meskipun akan menciptakan kebisingan telingaku, asalkan hingar-bingar itu tidak menggorok otakku. Dan aku pecaya, aku takkan terbunuh oleh keriangan.

12 April 1999 Untuk Seorang Sahabat

Sahabat … kau tidak akan pernah tahu bahwa cintanya bukan untukmu, lebih baik jangan kau teruskan, lepaskan dia dengan rela, tegarkan hatimu tuk hadapi semua kekecewaan yang akan tiba. Yang kini kau jalani bersamanya hanya kepalsuan dan semu belaka, karena aku tahu cintanya masih untuk yang dulu. Dia masih belum bisa melupakannya. Dia hanya ingin menjadi sahabatmu tidak lebih dari itu. Dia lakukan itu semua untuk meredam gejolak emosi hatimu.
Sahabat … tabahkan hatimu, tidak lama lagi kata berpisah akan diucapkannya padamu.
Sahabat … Jangan larutkan dirimu dalam kesedihan meskipun aku tahu pedih yang kau rasa. Lupakanlah dia, hapuskan semua problema hatimu, simpan sebagai suatu kenangan manis yang pernah mewarnai hidupmu.
Sahabat … jangan pernah kau jera untuk mencari pengganti dirinya, aku yakin kau akan mendapatkan seseorang yang melebihinya.
Sahabat … aku yakin Allah Yang Maha Esa akan memberikan kebahagiaan padamu suatu saat nanti. Aku sahabatmu selalu mendoakanmu.

Berikan Untukku

Seandainya kamu saat ini ada dipelukanku, sandarkanlah telingamu didadaku, sehingga kamu bisa mendengar detak jantungku, merasakan helaan nafasku, merasakan dekapan kasih sayangku. Bilakah memang detak jantungku bisa berkata, seandainya kata hatiku bisa kau dengar, maka ia akan bercerita tentang satunya dirimu dalam hatiku, hanya kamulah yang bisa mengerti, memahami, menyayangi, serta menuruti inginku.
Meskipun jarak dan waktu masih saja terentang, tak akan bisa mengubah kehendakku untuk selalu mengingatmu dan menyayangimu, dimanapun berada. Kumohon jangan kecewakan aku, jangan buat hatiku terluka, karena aku tahu untuk siapa cinta ini aku berikan. Ingatlah itu !!!.

R E L I G I

Pelindungku… Ayat - ayat-Mu telah menyejukkanku
Firman-Mu telah tegarkan langkahku,
Bukti kekuasaan-Mu telah sadarkan aku
Indahnya Kalam-Mu memudarkan sangsi hatiku
Tuntunlah aku ke pintu Surga-Mu
Tutuplah mata, telinga, dan hatiku dari gemerlap Dunia
Bekukan hatiku dari cinta maya
Abadikan Roh ku di haribaan-Mu
Sucikan otakku dari gangguan Laknat-Mu
Mudahkan segala jalanku untuk mencapai Ridho-Mu
Kegelapan benakku kini mulai memudar
Tersinari cahaya dari kasih sayang-Mu
Pelindungku… berapa kali kukufuri Nikmat-Mu
Berapa kali kutepiskan titipan-Mu
Aku tiada berdaya…
Setitik zarrah-pun takkan sebanding bila aku di hadapan-Mu.

Dalam Suatu Reuni

Gelak tawa canda memecah kesunyian malam, suara-suara riang terlontar begitu saja dari mulut mereka, entah karena secawan anggur yang ditenggakkan atau sebagai pelepas kejenuhan otak dan kerinduan hati. Duduk dan terpaku diriku di antara hingar-bingar suasana, disini aku merasa tidak terakui, tak ada satupun mahluk yang mau menemani atau mendekati aku, bahkan nyamuk pun enggan mencumbu kulitku seperti yang biasa dilakukan di kamar tidurku. Entah karena lelah jiwa atau tak bersahabatnya benakku, dan otakku tak seperti sukmaku yang tengah mengangkasa.
Detik demi detik bergulir, kurasakan sepasang mata sedang perhatikanku dari kejauhan, sejurus langkah gemulai itu perlahan mendekat dan mendaratkan tangannya dipundakku. Aku terhenyak ketika menyadari seulas senyum manis menyilaukan kelopak mata, ia ulurkan tangannya tuk disambut, menggenggam ia, menarikku turun ke lantai dansa. Suasana kini berubah, keriangan berganti kesunyian, kutengok sekelilingku penuh dengan warna keromantisan, terhanyut aku di antara mereka dalam alunan musik klasik yang sendu, memaksa setiap insan untuk membuka hati menyambut kasih yang terpancar dari tatapan jiwa.
Nanar kupandangi wajah itu, rambut mewanginya jatuh di pundak dan lenganku. Erat dia memelukku seirama dengan nada. Aku hanya terdiam dan mengingat apa yang pernah aku dan dia jalani, tersenyum aku lalu sesaat terhenti ketika kurasakan kehangatan mungil bibirnya menyentuh kulitku, aku tak kuasa bergerak, dan hatiku kini berteriak “Itu semua sudah berakhir, aku tak akan mengulanginya lagi… Kau boleh perlakukan aku sesukamu saat ini, tapi jangan bicarakan soal rasa dan cinta, semua hanya bisa kulakukan semalam ini, esok hari nanti mungkin aku berlalu. Meninggalkan semua kenangan manis pahitnya yang pernah kualami bersamamu. Sekarang… bawalah aku pergi, terbang bersama sayap gaunmu, buailah aku dengan tarikan nafas harummu, sanjunglah hatiku lewat bibir lembutmu, karena aku telah mengetahui diriku akan kau lupakan bila jauh darimu, walaupun sehasta jaraknya. Seperti yang sering kau lakukan dulu, saat kita masih melangkah seiring. Biar kita nikmati indahnya purnama bersama desakan emosi jiwamu hingga saat terbit fajar nanti. Karena ini takkan terulang untuk kesekian kalinya, entah sampai kapan, mungkin untuk selamanya. Selamat tinggal benak liarku… dekapanmu harus kau lepas…
aku akan pergi menemui derap langkah nyata, yang bisa menyejukkan hati dan jiwaku sepenuh kepastian.
Kamu hanya segumpal asap bagiku, yang akan musnah dengan satu hembusan lembut sang bayu. Lebih baik aku nyalakan bara di daun surga, daripada harus kusulut bara hatimu yang tengah menyala, menunggu siraman kasih yang berbilur sesalan bila kita jalani”.

Petaka dalam Kegaiban

Saat mataku terpejam, pernah sekali aku terhanyut dalam buaian sang mimpi. Petaka hadir dalam dunia khayal itu, dan aku terbawa bersama alam maya hingga ku terjaga. Pelukan hangat itu ternyata sebuah selimut tebal yang lindungi aku, tapi tangisan yang kutumpahkan dalam ruang semu itu mengikutiku di dunia nyata, bahkan lebih pedih saat aku tersadar.
Bungaku… bilakah semua yang kualami dalam kegaiban itu terjadi… aku tak sanggup untuk menghadapinya, aku tak mau yang kualami menjadi suatu pertanda…. Pertanda bahwa kehancuran itu akan terjadi suatu saat nanti.
Penyairku… biarlah mimpi itu terus berlalu dan bergulir, selama tidak pernah terjadi aku alami dan rasakan di alam nyata ini.

Antara Jasad dan Jiwaku

Penguasa alam terang menyaksikan aku tepat di atas kepala, panas teriknya tiada terkira, meruntuhkan rasa kesabaran yang selalu aku jaga. Kucoba mencari rindang dedaunan untuk berteduh, yang akan melindungi tubuh lemah ini, tapi tak ada satupun yang sanggup memayungi jasad ini. Sinar yang menyilaukan itu tetap saja bisa menembus dedaunan yang tersibak kala angin berlalu. Aku tertegun… hatiku berbicara “ternyata jiwa dan jasadku bernasib sama, jasadku kini menderita karena panas mentari dan cuaca, jiwaku pun menderita karena tiada yang melindungiku dari terpaan panas suatu problema; tiada pohon yang mampu meneduhi aku, tiada pula kasih sayang yang meneduhi jiwaku !”. terpaku diriku menjejak tanah, memandang jauh keseberang Savana. Hembusan angin diboncengi debu dan melekat dikulitku yang bersimbah keringat. Lalu hatiku berkata lagi dengan segores senyum kemenangan, “Sekarang jiwa dan jasadku tidak bernasib sama, kuakui kini jasadku kotor, kenajisan ada di tubuhku bercampur dengan menguapnya peluhku, tetapi jiwaku tetap bersih, tidak tersentuh dengan suatu kenistaan, tidak terjamah dengan kebutaan rasa, tidak terpagut dengan suatu kejahatan.”
Kini aku mulai mengerti… jasad dan jiwa terkadang bertolak belakang, dan kuharap ada yang mengetahui, meski ia nun jauh disana… yang mau memandang jiwa tulusku, bukan jasad lemahku.

Tarian Pena

Acuan hatiku, goresan yang kau buat dalam kertas mewangi itu membuat aku terharu, melalui tarian pena-mu kau buat aku bahagia. Berpucuk-pucuk telah aku terima dengan penuh warna kehidupan di dalamnya. Bintangku, aduan hati yang kau paparkan membuat aku tak berdaya, serasa nyata kau ada di depan roh ku, larik demi larik kata serasa terucap langsung oleh mungil bibirmu. Lebahku, saat kupahami arti dari buah tanganmu, sepertinya kau menyaksikan aku tertawa, tersenyum, tertegun, terdiam, tertidur, melamun, bahkan menangis. Bungaku, separuh jiwa yang kau punya kini ada dalam genggamanku, takkan pernah aku hempas, bahkan takkan pernah aku musnahkan, semuanya akan aku simpan sebagai suatu lembar sejarah yang tidak terlupa dalam perjalanan waktuku suatu saat nanti. Permataku, senda gurau, canda tawa, bahkan kepedihan yang kau lukis disana membuat suatu pengalaman baru di lembar hidupku, Bukan suatu kepedihan yang kurasa, tapi mungkin suatu perjalanan hati yang bertabur bunga di setiap sisi yang kulewati. Kekasihku, entah apa yang harus aku perbuat saat ini, apa yang harus kuperbuat untuk menetapkan bahwa hati, rindu, dan senyummu, hanya untukku.

Kewajaran Berbatas
Perjalanan-perjalanan hidup di masa lalu telah kulampaui dengan penuh rasa kewajaran, semua yang pernah aku lakukan serasa tiada melanggar suatu norma, kunikmati itu, kulalui tanpa memuat suatu kenangan kebahagiaan yang membekas. Yang ada hanya kepedihan dan kekalutan menggores di cadas bebatuan sukma. Adalah suatu waktu ketika serangkai bunga menancapkan hidupnya di atas cadas hati ini, akar-akarnya mampu menembus urat keangkuhan dan mengikis bebatuan itu sampai hancur menjadi puing-puing dan debu. Bunga itu telah membuat mata hatiku terbelalak, memaksa jiwaku untuk menarik mundur ingatan menuju sejarah lalu, dan aku mulai mengakui kesalahan yang telah aku anggap sebagai kewajaran, sungguh aku terlalu terlena dengan apa yang disebut wajar. Bungaku… aku seharusnya berterima kasih padamu, mungkin bila kau tak tumbuh di jiwaku, aku takkan pernah mengetahui bahwa kewajaran itu bila terus kulakukan akan membuat kehancuran diriku, bahkan hancurnya melebihi apa yang telah kau perbuat pada cadas bebatuan sukmaku, kini aku ingin kau terus hidup dan hadir di jiwaku. Menuntunku ke arah suatu kepastian yang takkan terlupakan.

Senyum Secercah bayang
Pernah suatu ketika aku berdiri mematung menunggu curahan air dari langit mereda. Tubuhku menggigil terkena percikan-percikan halusnya. Satu persatu ia luruh mengisi rendahan tanah didepan ibu jari kakiku, lama kelamaan rendahan itu ciptakan sebuah cermin yang menarik wajahku untuk berkaca pada pantulan air itu. Kulihat sebentuk wajah yang tak asing di mataku, aku mengamatinya dan membisu, tapi bayangan didalamnya malah tersenyum padaku. Lalu aku membuka tanya pada bayang itu “wahai sebentuk wujud…apa yang membuatmu tersenyum padaku ?”, tak kusangka ia menjawab dengan membisik dihatiku, “Aku tersenyum bahagia karena kamu…wujudku yang sebenarnya !”. “apa gerangan kebahagiaan yang kuperoleh ?”, dan ia tertawa “sadarlah jelmaan jiwaku… engkau kini tengah berbahagia karena kehadiran penyejuk jiwamu, pencurah asamu, pengisi lembar baru hidupmu, bahkan pembimbing bagi lelah jiwamu !”. aku terdiam sejenak, berpikir,….., sejurus kemudian aku ikut tersenyum, kini aku mengerti siapa yang dimaksud oleh mahluk dibalik cermin itu, dan kamu pun pasti mengerti siapa yang ia maksudkan.

Aku mulai melangkah menembus mendung, tak hiraukan sekelilingku karena kebahagiaan yang telah kugapai, meronta di jiwaku, pergi bersama langkah tergesa, menuju tempat dimana aku bisa curahkan kebahagiaan itu. Tunggu kehadiran diriku pelangiku…., sambut kedatanganku dengan rasa sayang yang memenuhi setiap inci ragamu.

Prahara Pemicu

Gelegar dentum sebuah meriam jatuh di pelataran taman hati, desingan - desingan peluru kasih terdengar memekakan telinga bathin, diiring semburat warna-warni kembang api menjulang di langit sukma. Ada apakah gerangan ?, apa yang tengah terjadi dalam istana jiwaku ?, gemuruhnya membuat badanku bergetar, membuat badanku menggigil, ciptakan sebuah kedahsyatan yang hanya bisa dirasakan oleh diriku. Getaran-getaran yang ditimbulkannya membuat bibirku tersenyum, jatuhnya puing-puing istana jiwaku menumbuhkan berkuntum bunga yang elok beraneka rupa, hadirkan semerbak wewangian kembang setaman. Siapakah yang memicu itu semua ?, tiada lain adalah karena kehadiran sepenuh kasihmu dalam dadaku, hadirnya sayang itu dibarengi dengan selarik kilauan warna, laksana halilintar menyambar sebuah batu menghitam dan menjadikannya sebuah prasasti yang terukir dengan berbagai kata dan berkilaukan emas, salah satu prasasti itu tertuliskan namamu, yang tertancap memaku keangkuhan dasar hati.

Jumpa Kali Kesekiannya

Berdendam rindu, aku telah terbiasa. Menghapus jejak masa lampau sering aku lakukan. Manakala Sang Surya terbit di ufuk kebahagiaan dan berakhir di ufuk penyesalan, aku terkadang selalu merenunginya. Jam dinding berdetak ciptakan sebuah irama teratur nan sendu, mengalun dalam rasa yang tak berujung, saat itu pulalah cipta, karya, dan rasaku mengalir deras, harus ditumpahkan dengan cara yang tak terpikir oleh rasio. Mungkin suatu saat, jaman akan mengasahnya, menajamkan suatu ketumpulan otak yang selalu disesaki oleh berjuta kata maki. Saat ini dibawah kerlip bintang-gemintang, kulantunkan sebuah syair penawar rasa rindu karena jumpa tadi, terbersit sebuah kisah saat pertemuan kita sedari pagi. Sungguh sebuah karunia yang aku rasa saat menatap wajah dan bibirmu, semua yang hadir dalam jasadmu menjanjikan suatu kebahagiaan yang tiada terlukiskan, meski separuh yang tengah kujalani, tapi entah mengapa seperti satu putaran mentari kasih sayang yang aku peroleh dari hatinya. Dekapan-dekapan erat yang kau berikan, tiada pudar dalam otak membisu ini, ketika sang penglihatan mulai kabur karena desakan air mata, aku biarkan ia menetes deras di pipiku, bukan penyesalan yang membuat ia mengalir, bukan kekesalan yang membuat air mata itu jatuh, bukan pula sebuah kesedihan yang membuatnya hadir.
Tetapi sebuah keharuan dan kebahagiaan yang tak terkira, membuat air mata itu luruh, meluruhkan sukma yang terkadang membatu, meluruhkan asa yang terkadang membeku. Awan gelap di hatiku kini tertiup hembusan kasih, angkasa cerah dalam sukmaku kini dihiasi dengan sebentuk warna pelangi, yang berwarna-warni seiring senyuman dan syair yang kunyanyikan dengan nada sumbang tentang kekagumanku padanya.

Perunggu Naik Takhta

Suasana Malam kini kembali bersahabat, kata hati yang harus terpenuhi akan aku turuti bersama hembus angin lautan, desau suara sumbang, bersama semua kenangan manis yang pernah kita lewati berbareng. Serta bersama langkah kaki… berlari hingga tiba di pesisir pantai, lalu menari bersama rembulan, meninggalkan benak hitamku dengan tetes air mata yang jatuh mengering tersirap ke dasar bumi. Aku berteriak … menggigil … berlari … terjatuh … menari … dengan semua harapan baru, harapan untuk meraih ketulusan hati. Harapan itu tiada akan pernah hilang, dan takkan musnah seperti api unggun di hadapanku yang suatu saat akan hilang dari permukaan bumi, meninggalkan jejak arang menghitam untuk kemudian menjadi debu dan terbang tertiup badai. Punah sudah segala rasa ragu di jiwa, sambut aku dengan jalan bertabur bunga dihatimu, dan wewangian kasihmu takkan luntur memandikan jasadku, semerbak ia membuai sukmaku. Dalam sejurus rasa kodrati, tunggu aku di hatimu, biarkan namaku terukir dengan tinta emas di dalam sana. meskipun aku berupa perunggu, tapi cinta emasmu menyepuh dan mengubah hatiku menjadi emas bertahta. Aku sangat menyayangi kamu.

Setan Kecil

Setan kecil merangkak masuk kamarku, tinggalkan sebentuk jejak di atas tikar tua.
Setan kecil berdiri tegak disampingku, membisikkan sebuah kepalsuan dari mulut busuknya.
Setan kecil tertawa di atas kepalaku, mengajakku untuk lakukan sesuatu.
Setan kecil menopang tubuhku, mengangkat tubuhku yang terbaring, hendak lemparkanku ke lembah kenistaan.
Setan kecil menarik tangan dan kakiku, memaksaku untuk hancurkan sebuah dinding kalbu.
Setan kecil berlari-lari disekelilingku, sambil terkekeh dengan suara parau, menggema, dan menaikkan bulu romaku.
Setan kecil terbang diseputar langit-langit kamar, menarikku tuk lenyapkan sebuah kehidupan.
Setan kecil musnah terbakar api kesucian, hancur bersama seucap do’a serta Nama-Nama Sang Penguasa Jagad Raya.

Bintang Terindah Hidupku

Disini dalam temaram lampu kamar, aku hanya bisa berbaring, tergolek lemah tanpa daya. Nanar aku pandangi langit-langit dan seakan bisa menembusnya sehingga bisa kulihat kerlip bintang gemintang yang mengerling manja kepadaku.
Satu persatu ia bermunculan, seakan-akan ingin mengajakku, menggodaku untuk pergi mengangkasa dan meraih sinarnya tuk disematkan sebagai perhiasan baju malamku.
Berat kutarik nafasku, bergegas aku terjaga. Semakin sering aku berkedip, bayangmu pun semakin jelas mendekat ke wajahku. Serta-merta air mataku tak kuasa aku tahan, luruh ia basahi wajah keringku, lalu bayangmu semakin jelas dan akhirnya menjelma, mengenakan gaun putih dan sepatu dari emas. Bibirmu tersenyum, kau letakkan tanganmu di keningku, kusambut dengan uluran tangan yang mengiba. Kau masih tetap tersenyum, dan dengan senyumanmu kau kecup keningku seraya ucap sebuah kata yang menenangkan hati. Erat kau dekap tubuh lemahku, kubelai jemari tanganmu, lalu kau menghilang dari pandangan, terbang menyatu mengangkasa dengan bintang disana, yang menjadikanmu bintang terindah bagi hidupku.

Akulah Salah Satunya

Setiap manusia di alam persada mempunyai jiwa seorang penyair, biarpun itu yang berhati batu atau sepanas lahar.
Semua yang diungkapkan tergantung pada caranya mengungkapkan rasa yang terpendam itu.
Akulah salah satu di antara manusia yang ingin mencurahkan rasa lewat coretan-coretan yang tiada guna dan manfaat, tapi aku lakukan itu untuk meredam gejolak emosi yang tak tertumpahkan.
Bilakah tidak dengan cara ini, maka tumpahan gejolak emosi itu mungkin berubah menjadi Anarki.

Jerit hati seorang Tersiksa

Mengapa segala kekejaman yang aku ciptakan untuknya, selalu dibalas dengan senyuman ?
Mengapa segala dusta yang kuucap untuknya, selalu dibalas dengan pelukan ?
Mengapa segala kekesalan jiwa yang kulampiaskan padanya, selalu dibalas dengan kecupan ?
Sampai kapan ini berakhir ?, kapankah aku mendengar kata benci dan pisah keluar dari mulut dan hati nuraninya ?.
Aku akui memang aku sangat merasa terbebani dengan dosa apabila ia ucapkan cinta. Sepenggal langkah dan hidupku takkan pernah kuberikan untuknya. Berjuta caci maki selalu kuucap untuk membuatnya jera.
Aku hendak bertanya, salahkah bila aku meninggalkan sebuah beban penderitaan yang selalu menyesak dalam dada ?, bila itu benar… maka penderitaanku lah yang tengah aku alami saat bersamanya, mengapa ia tak pernah mengerti ?. Aku sangat muak dan penat dengan segala kata sayangnya, yang semakin bertambah dan bertambah setiap detik berlalu. Aku tak kuasa lagi, Aku tak sanggup lagi.

Dengan sepotong do’a yang selalu kuucap menjelang tidur, aku berharap ia tuk tingggalkanku, dengan kerelaan dan ketulusan hati. Masa depan dan cita-citaku harus kuraih tanpa peran darinya. Kabulkan pintaku !.

Hadirlah Pesona

Wahai pengisi bejana sukmaku, kecupan lembut bibirmu masih terasa lekat di wajahku, meski lewat ibu jarimu yang kau beri, tapi aku anggap itu sebagai curahan kalbu dari hati seorang bijaksana yang telah sudi tuk memahami dan menyambut genderang cinta yang bertabuh gemuruh dalam hati kita berdua.
Desiran tulus hatimu kurasa lewat lembut jemari tanganmu yang sedingin salju dan akan segera mencair tatkala bersambut hangatnya jemariku. Ketakutan dan kegelisahan jiwa terasa dari menggigil tubuhmu, pancaran kasih sayang terlukis dari binar matamu, bilur-bilur kasih di urat nadiku memacu darah panasku, ciptakan sebuah kehangatan yang kita rasakan. Menggigil tubuhku merapat di pangkuan kasihmu, kusandarkan kepalaku tuk dengarkan detak jantungmu yang seirama dengan tarikan nafasku. Sungguh semua tak ingin aku sudahi, damai hatiku dalam pelukanmu, harap ini janganlah usai, dan takkan terulang untuk yang lain. Aku yang kini memiliki hatimu, kau yang mengisi udara untuk nafasku.
Dengan segenap kemampuan yang ada, kutengadahkan wajahku untuk nikmati tatapan sejuk sepasang mata indahmu, kini kumiliki senyum manismu, dihiasi geraian sutera kilau rambutmu.
Wahai pengukir kisah hatiku, tak perlu lagi aku kabarkan pada semua, karena mereka tidak akan pernah tahu, rasa yang ada dalam hati kita takkan terpisah walau setebal tembok Berlin. Sekarang kumiliki hati dan cintamu, suatu saat nanti akan kumiliki kamu seutuhnya. Dengar .. dengarlah wahai kabut senja, lihat .. lihatlah wahai pelindung malam, Wahai hawa dingin alam gelap, Aku yang terduduk berdua disini menantang hantaman desir tusukan beku, saling ucapkan rasa sayang yang dimiliki, lalu ku kecup lembut ibu jari tanganku, tuk sentuhkannya di kening, dan mungil merah bibirmu.

Kiasan Firasat Sepenggal Mimpi

Seorang gadis belia usia belasan tampak termenung, ia duduk di batu karang menatap ombak yang berkejaran. Lentik jemarinya memainkan Lira. Kudekati ia dan aku berkata “Tolong mainkan sebuah kidung untukku”, ia tak menoleh lalu bertanya “Siapa namamu ?”, “Tak perlu kau tau namaku, nyanyikan saja kidung tentang aku, karena aku terpukau dengan permainan Lira-mu !”, ia tersenyum dan dari bibir mungilnya terlantun suara yang merdu dengan iringan denting Lira. Mataku terpejam menikmati indahnya suasana, desiran angin pantai itu membuatku terhanyut. Tatkala kelopak mataku terbuka, aku tak melihat gadis cantik itu disisiku lagi, ia telah berada di atas sampan tepat didepan jasadku, tangan kirinya memegang Lira yang putus dawainya, dengan tangan kanannya ia mendayung, tapi bibir mungilnya masih tetap berlantun dengan suara agak parau sesekali mengisakkan tangis, ia terus melaju dan lemparkan Lira indahnya ke dasar lautan, kuterpaku ia menangis, menjauhi aku, dan aku berteriak “Wahai Ratu ku, apa gerangan yang terjadi, apa karena aku atau Lira-mu kau menangis, dan meninggalkanku ?. Wahai Ratu ku,
jangan tinggalkan aku, aku butuh dirimu. Wahai Ratu ku, nyanyikan lagi kidungmu.
Wahai Ratu ku, ambillah selembar rambutku atau sehasta urat nadiku sebagai pengganti putusnya dawai Lira indah yang kau hempaskan. Wahai Ratu ku, aku mencintaimu !”, tapi ia melambai, tersenyum, menangis, menghilang, dan mendarat di seberang pulau yang jauh nun di seberang sana. Tak akan bisa aku ikuti, aku tak mempunyai sampan, serta samudera itu tak mungkin untuk diseberangi.
Seorang gadis cantik usia belasan, kini tiada lagi disampingku, hilang dari mataku tapi tidak dihatiku, bagiku ia masih tetap hidup, hingga bila kulihat senja memerah, aku bisa melihat ia ada di antara lembayung, terbang sesuka hati sambil melantunkan kidung - kidung mesra penyayat hati, dengan Lira emas di tangan kirinya, dan tangan kanannya memegang selendang berwarna ungu yang ia lemparkan kepadaku. Kukecup selendang itu, semerbak wangi di sekujur tubuhku, terisak ia tatkala kupeluk, lalu selendang itu musnah setelah kukecup, musnah karena tatapan bola - bola api yang ia pancarkan. Namun sinaran kasih sayang dalam hatinya yang selembut salju, musnahkan bola api itu, dan dengan sayapnya ia mengajakku naik ke langit senja, tapi tak pernah aku turuti. Aku hanya menunggu sampai kapan ia akan turun ke bumi.
Dalam senyumannya yang terlukis dilangit, ia berjanji akan turun kembali ke bumi, menjelma menjadi seseorang yang aku impikan.
dan aku percaya itu. Bila suatu saat ditepi pantai kau melihat bintang jatuh, lalu di tempat jatuhnya muncul seorang gadis cantik usia belasan, dengan bibir mungil kemerahan, dengan rambut keemasannya berlari dan tertawa riang, tolong kabari aku, katakan ia telah kembali, katakan padaku ia telah menjelma menjadi sosok impian bagi aku. Katakan pula padanya aku kan menghampirinya, meski ia takkan peduli dan terus berlari, bernyanyi, memainkan Lira emas yang selalu ada di tangan kirinya.

Penjelmaan Jiwaku

Sebentuk wujud transparan bangunkanku di kesunyian malam, memaksa, goyangkan tubuhku dan menarik selimut penghangat jasad lemahku. Kulihat raut mengiba dari wujud itu, tanpa menggerakkan bibirnya ia berbicara kedalam hatiku, sangat jelas, lebih jelas dari gemuruh badai diluar jendelaku. “apa maksudmu mengusikku ?” dan ia mulai ceritakan apa yang menjadi gundah jiwanya, sesekali diikuti cucuran air matanya yang seakan tidak pernah mengering, sejenak kuketahui ia adalah sang derita, yang telah bosan melakukan tugasnya dan tak kuasa melihat orang meratap dan mengiba. “tenangkan hatimu, aku mengerti apa yang kau rasa”. Sebersit senyum terpancar dari cahaya wajahnya, bibir hangatnya mengecup kedua tanganku seraya mengucap terima kasih, lalu kulukis sebentuk hati dan namaku di dadanya dengan darahku sebagai tinta, dan rambutku sebagai kuasnya. Sedetik berlalu ia menghilang, aku pun tenggelam lagi di alam bawah sadar dan terbangun di pagi hari seraya melihat di dadaku terlukis sebentuk hati dan namaku, sang derita yang datang semalam, mungkin jelmaan jiwaku.

Aku dan Sang Pengintai

Di ujung jemari sang bukit aku berdiri, lemparkan segumpal dendam yang serasa membengkak pada otak jenuhku. Sejurus pandanganku tertumbuk di angkasa, mengikuti kepak sayap burung elang yang seperti meninggalkan jejak goresan menghitam di batas cakrawala. Sungguh ia sangat menguasai udara, keluar masuk mega tanpa rintangan berarti, setiap mataku menoleh dengan jauhnya, hanya satu kepakan sayap yang ia lakukan. Oh ternyata ia menimbulkan sebentuk rasa iri di hatiku, mungkin dengan sekali kibasan sayapnya, berbukit- bukit ia lewati. Sejenak ia menutupkan sayapnya lalu meluncur dari ketinggian menuju suatu lembah dibawah kakiku, cakar yang membuka dan menutup setelah ia menggenggam seekor pengerat. Lalu pergi menuju sarang di puncak tebing ketujuh sekedar untuk pengisi perutnya yang mulai menjerit. Aku mulai tersentak, mungkin aku seekor pengerat itu, dan burung elang itu sebagai pengintaiku yang selalu menanti lengahnya Iman ku.

Prakata Abdi sang Penentang

Saat langkah sembab dan memar jadi pembuka berjuta roman kehidupan. Persetan !, singkirkan segala aral rintang yang menghadang.
saat jiwa tercabik, nafas mulai tergorok, darah mulai menetes, beku dan menggelegak, otak memanas dengan pancaran berjuta angkara sang terlaknat.
Saat harta, takhta, dan kuasa angkat bicara, saat genderang tambur perang dan senjata jadi bahasa, di saat itulah cinta kasih ditempa, layaknya sebilah besi ditangan sang Empu,
bukan untuk mencari sensasi, juga bukan untuk mencari nuansa semu, melainkan untuk hadirkan kedamaian, untuk meredam sebentuk ego, memusnahkan segala hasrat gila, untuk hadirkan suatu kepercayaan, pengakuan dari dalam hati nurani, bahwa kita saling menyayangi.

Mimpi Realistik

Mataku memandang kelam serasa seisi dunia menjadi suram, tubuhku ringan seakan mengangkasa, sejurus ucap maki terlontar dari mulutku, begitu saja hadir tanpa terkendali. Jagad raya seakan berguncang memberatkan langkahku. Aku tak kuasa bangkit kembali, tapi aku masih mampu habiskan separuh sisa air petaka, dan mulai kusulut rangkaian daun surga, kuhisap… dan tak kuhembuskan lagi. Aku mulai tertawa, melayang dalam suatu kenikmatan semu. … maafkan, caci makilah aku, aku lakukan itu semua untuk menghindari dan melupakan yang pernah terjadi, tetapi semakin aku terlena, bayangmu semakin mengganggu serta menari di pelupuk jiwa. Aku takkan mampu untuk berbuat sesuatu lagi, selain mengakui bahwa hanya kamulah yang mampu untuk mengiringi derap langkahku di kemudian hari. Meski engkau bukan segalanya bagiku.

Menantang Fajar untuk raih kasihmu

Saat sang surya pagi mulai hadir, silaukan kelopak mataku yang tertutup. Semilir hawa pagi menyapa tubuhku, memaksa aku untuk bangkit pagi ini.
Seperti juga kehadiran dirimu, Cahaya kasihmu silaukan mata hati ini, lembut semilir cintamu menyapa jiwa, juga memaksa hatiku bangkit pagi ini.
Apa yang harus aku lakukan untuk memulai hari ini ?.
supaya lebih baik dari yang telah berlalu. Selalu itu dan itu yang menjadi tanya pembuka.
Sebenarnya aku tak perlu bertanya, karena untuk setiap detik yang kulewati akan menjadi indah, berarti, dan fenomenal bila kasih sayang dan cintamu tiada berhenti tercurah untukku,
dan aku akan bahagia tatkala rinduku bersambut dengan derai tawa dari lembutnya bibirmu, serta sejuknya paras ayu wajahmu, yang bisa sirnakan gundah jiwaku.

Sepertiga malam itu

Sejenak kuterjaga dari sebuah mimpi yang sering menghantui lelap tidurku, mengapa dirimu selalu ada menyertai bunga tidurku. Mungkin kini semua telah berubah, rasa sayang dan peduliku makin bertambah, meyakinkan seucap kata hati. Bila hari ini kudengar suaramu, maka akan aku minta dirimu untuk selalu menyimpan dan membawa sebagian dari jiwa dan kasihku, berupa cinta tulus yang akan selalu setia, mengiringi langkah yang kau jelang. Jangan pernah itu kau hempas. Dirimu dan hatimu, harus kumiliki apapun yang akan terjadi !.

Merajuk Senja

Di sudut temaram kota, termangu aku berdekap rasa.
Jalan lengang dihadapanku, biaskan lembut wajahmu.
Debu yang tertiup sang bayu, memeluk erat dingin tubuhku. Lelampuan biaskan semburat warna
seindah pelangi di kalbuku yang tak ingin pudar.
Tatkala butiran hujan menyapa,
aku tetap terdiam meski dingin terasa,
biar kurasakan butiran air itu menetes basahi tubuh dan jasadku.
Seandainya saja kasih sayangmu laksana hujan itu,
mungkin hati dan sukmaku selalu terguyur cinta kasihmu,
yang tidak akan tersentuh oleh cinta selain darimu.

Desakan bisikan Imaji Alami

Getaran menyesak di dada
memaksa naluriku untuk berbicara.
Anganku bergerak hampa
melayang bersama tarikan nafas.
Sungguh tiada bisa kutolak,
suara hati yang selalu berteriak,
kapanpun dan dimanapun itu,
membisik ke setiap urat nadiku.
Kejar…kejarlah itu !, bangkit…bangkitkan harapanmu !.
apapun yang terjadi nanti, tak berhak untuk disesali.
Rasa itu sebuah karunia, jangan dihempas karena jalinan norma,
karena siapa yang lebih mengetahui
adalah diriku sendiri.

Tiada Bertambat

Apa yang paling menyakitkan hati ?.
ialah kesadaran bahwa cinta sejati yang diberikan
ternyata disambut dengan ketidak pedulian.
Apa yang membuat derita makin bertambah ?.
ialah kenyataan bahwa kasih sayang yang tulus
mulai dilupa dan dikesampingkan.
Bunga hati yang dulu mekar kini menguncup kembali.
Karena kini tak ada harapan lagi untuk dapat bersua..
dan tiada harapan lagi untuk bersatu.

sebuah kenyataan

Biarlah semua berlalu tanpa kehadiran dirimu, memang berat hati ini bila harus ditinggalkanmu, kuakui sejujurnya kalau diriku mencintaimu, aku rela melepaskanmu, aku rela berpisah denganmu, meski sayatan kenangan bersamamu terasa perih dalam hatiku. Memang hari-hariku penuh kulalui dengan canda dan tawa, namun semua itu hanyalah untuk menutupi rasa sakit hati dan kekecewaan dalam dada. Semua kulakukan agar diriku tak terhanyut oleh perasaan yang hancur. Maafkan aku …. !.

Aku harus bisa menerima semua kenyataan yang terjadi. Sakit hati memang menimbulkan suatu rasa yang tak dapat dilukiskan, yang ada hanya perasaan yang begitu sepi….. tapi kadang kesunyian bisa menyadarkan kita untuk mengoreksi kesalahan hingga mampu mengubah sebuah duka dan luka menjadi suatu keindahan yang takkan Terlupakan !.